Yang ku suka dari Jakarta: cahaya yang memantul dari kaca gedung-gedung gergasi dan siluet yang terangkum padamu.
Sabtu, 03 Desember 2016
Minggu, 13 November 2016
Batas
Kepadamu:
batas kita menyangkut tiga perkara,
pukulan waktu,
persilangan otak,
dan cara bersolek seorang perempuan (plus warna pemerah bibirnya).
batas kita menyangkut tiga perkara,
pukulan waktu,
persilangan otak,
dan cara bersolek seorang perempuan (plus warna pemerah bibirnya).
Rabu, 09 November 2016
Bau Tahi
"Dunia denganmu adalah fantasi."
Tahi. Di luar, lampu-lampu jalan nyala setelah magrib.
"Dunia tanpamu seperti ilusi."
Tahi. Di luar, trotoar lengang tanpa tenda dan bungkus mi.
Kedatangan layaknya gelombang, melanting ke sana kemari.
Sampah. Cerutu mengasak selokan.
Tahi. Bau tahi dan mimpi.
Tahi. Di luar, lampu-lampu jalan nyala setelah magrib.
"Dunia tanpamu seperti ilusi."
Tahi. Di luar, trotoar lengang tanpa tenda dan bungkus mi.
Kedatangan layaknya gelombang, melanting ke sana kemari.
Sampah. Cerutu mengasak selokan.
Tahi. Bau tahi dan mimpi.
Minggu, 16 Oktober 2016
Jauh
Seandainya sorot terbentuk karena malam dan lagu terbangun karena riak-riak air, rindu adalah akumulasi dari sembilan suku kata: namamu.
Sabtu, 17 September 2016
Semoga Malam Tak Segera Habis
(Jakarta guram).
Itu kopi atau gula merah?
"Yang penting tak kau aduk, nanti pecah."
Matamu memelotot terus-terusan sampai airnya jadi boyak.
Sementara cangkirku bertumpuk-tumpuk, dua-tiga-empat.
Malam di depanku, jangan keburu lunas.
Selasa, 09 Agustus 2016
Kota Ini Penuh Belatung
Kota itu tampak seperti ibu yang sedang memasung anak kandungnya.
"Jangan ke mana-mana, Nak. Di luar, orang-orang lebih kejam dan gemar melanyak."
Sambil menyuapi bubur rayu, ibu terus berkisah. Tuturannya penuh pujuk empenak.
"Iya bu, di sini saja enak," katanya seraya menyeruput rayu bedegap.
Si anak senyam-senyum gembira memegangi pipinya yang makin gembil. Tangannya mulai berdaging. Rambutnya memanjang, hitam legam.
Tanpa sadar, kakinya membiru.
Hampir busuk.
Sebentar lagi, bernga dan belatung bercokol di pergelangannya.
"Jangan ke mana-mana, Nak. Di sini saja, aman."
Kota itu, Jakarta.
Penuh bernga dan belatung.
"Jangan ke mana-mana, Nak. Di luar, orang-orang lebih kejam dan gemar melanyak."
Sambil menyuapi bubur rayu, ibu terus berkisah. Tuturannya penuh pujuk empenak.
"Iya bu, di sini saja enak," katanya seraya menyeruput rayu bedegap.
Si anak senyam-senyum gembira memegangi pipinya yang makin gembil. Tangannya mulai berdaging. Rambutnya memanjang, hitam legam.
Tanpa sadar, kakinya membiru.
Hampir busuk.
Sebentar lagi, bernga dan belatung bercokol di pergelangannya.
"Jangan ke mana-mana, Nak. Di sini saja, aman."
Kota itu, Jakarta.
Penuh bernga dan belatung.
Senin, 04 Januari 2016
Untuk Pemenung
Pemenung, duduk di serambi. Mulutnya merayan, kepalanya
penuh delusi. Udara yang berembus di sela rambutnya tak pelak dihiraukan. Di
sudut matanya, ada kerisauan membuncah. Wajahnya sesat pusat. Mimpi yang datang
dinihari, di bulan ke sembilan, seperti tak direstui. Restu bahkan tak datang
dari pikirannya sendiri. Lantas membuatnya semak hati.
Pemenung, di mana pikiranmu bertualang? Adakah risak yang
perlu kau ceritakan? Bahkan pada telingaku yang datang dinihari dan tak kau
restui?
Langganan:
Postingan (Atom)