Rabu, 02 September 2015

Widji Thukul dan Nyawa-nyawa-nya yang Bergelora

Hilang rimbanya, tak tahu di mana jejaknya. Penyeru kebungkaman serikat buruh masa orde baru, Widji Thukul, hingga kini masih dihidupkan oleh karyanya. Tiga sajak berjudul Peringatan, Sajak Suara, serta Bunga dan Tembok selalu erat menjadi pengiring orasi demo.

Masih terngiang barisan kalimatnya, “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!” membangkitkan semangat buruh memperjuangkan haknya.

Bernama asli Widji Widodo, tepat 52 tahun pada 26 Agustus lalu ia lahir. Sayangnya, ia tiba-tiba hilang pada kerusuhan 1998. Seruan-seruan pembebasan buruh dari penindasan terpaksa dibungkam begitu saja oleh ketidakpastian. 

Perlawanan terhadap penindasan orde baru telah menghilangkan jejaknya.
Pekan lalu, Fajar Merah, si bungsu dari pasangan Wiji Thukul dan Siti Dyah Sujirah melantunkan lagu Bunga Tembok  di Goethe Institute, Menteng, Jakarta Pusat. Beberapa waktu berdekatan dengan peringatan hari lahir ayahnya, ia menyanyikan nyanyian yang dibungkam bersama beberapa musikus lain, seperti Rara Sekar, Jerinx 'SID', dan Dadang Pranoto.

Dalam sajak-sajak yang dinyanyikan, di wajahnya tersirat kemarahan. Kemarahan terhadap kejahatan HAM masa lalu dan kemarahan ketidakpastian yang telah merenggut kebersamaannya bersama sang ayah. Satu kalimat yang didengungkan Fajar Merah dari peristiwa hilangnya Widji Thukul, “kebenaran akan terus hidup”.

Kini, saat puluhan ribu buruh kembali ke jalanan ibu kota, menuntut hak dari bualan pejabat kerah putih yang berjajar di kursi pemerintahan, sesungguhnya nyawa Widji Thukul itu masih hidup. Sajaknya bergelora diorasikan oleh para orator.

Mati atau tidaknya Widji Thukul, di manakah kuburnya, dan seperti apa jasadnya, peringatan rakyat pada ‘penguasa pidato’ sejatinya tetap berdengung.

1 komentar: