Sabtu, 08 Agustus 2020

Perempuan Itu Membuang Jasadnya Sendiri

Perempuan setengah tua duduk di tepi dermaga. Telapak tangannya yang pucat kesi menyentuh kayu-kayu berembun. Air yang tak seberapa membasuh matanya yang kering. Dahinya berkerut-kerut tercalit embusan angin yang bangun lebih pagi dari matahari.

Dijulurkannya ujung kaki ke danau yang hampir beku. Ketukan kakinya di permukaan air sedetik kemudian membentuk riak yang tak beraturan, membangunkan ikan-ikan jelawat yang sedang lelap di bebatuan.

Pandangannya menerawang pada dasar danau yang dingin dan gelap. Di sampingnya terjelepak kaku mayat manusia yang serupa perempuan itu. Jasadnya terbungkus kain kumal lagi rombeng.

Beberapa helai rambutnya menjulai ke bibir pancang dan sebentar lagi dikudap jelawat-jelawat kelaparan.

“Kau tak kebagian lahan perkuburan,” kata perempuan itu.

“Di luar sana, baik mati maupun hidup, kau akan ditinggalkan karena miskin.”

***

Tak jauh dari dermaga danau itu, orang-orang menyeret mayatnya sendiri. Terseok-seok, mereka mengerubungi tuan tanah yang melelang sepetak lahannya untuk perkuburan.

“Seratus juta,” kata laki-laki yang mencangking mayat berkemeja hitam. Rambut mayat itu disisir dengan minyak kemiri dan tubuhnya bermandi wewangian.

“Semiliar,” kata perempuan yang berdiri di seberangnya sambil membopong mayat berbalut kain songket kerlap-kerlip. Wajah mayat itu disolek dengan bedak pilihan dan lehernya tergampai kalung emas berbandul permata.

Mata tuan tanah berbinar-binar. Terbayang ia pulang memanggul belasan karung berisi duit. Istrinya di rumah akan memasakkannya makanan terenak: daging sapi kualitas nomor satu yang dibeli dari
blantik kesohor. Nasinya berbakul-bakul, ditanak dari beras pu"h hasil panen terbaik.

Tuan tanah baru saja akan menutup lelang saat seseorang di belakang kerumunan menyahut.

“Setriliun!” Suara itu bermuasal dari laki-laki yang populer seantero kota. Konon ia mati tak lama setelah pensiun karena penyakit gula.

Tangan kanan laki-laki itu terlihat menyeret mayatnya sendiri. Jasadnya ditutupi kain jubah berkelir emas. Kainnya berbahan linen tua dan benang-benangnya dijahit rapi oleh penjahit kelas dunia.

Rambut jasad itu ditutupi topi berbaret kebanggannya. Sekonyong-konyong tuan tanah tambah berbinar. Dia mengusir semua orang dan mayat-mayatnya, kecuali pembelinya yang terakhir.

Sepetak tanah miliknya langsung diberikan kepada pelelang tajir itu dan ia mendapat uang setriliun.

Duit berkarung-karung lalu dibopongnya ke rumah. Sepanjang jalan dia terseok-seok, keberatan memboyong duit yang bobotnya tiga kali lipat dari tubuhnya. Badannya terhuyung-huyung, napasnya tersengal-sengal, dan langkahnya makin lama makin pelan. Tapi toh bibirnya terus mesam-mesem.

Di tanjakan, dia terjatuh. Tubuhnya tertindih berkarung-karung duit dan napasnya menjadi pendek.

Lehernya tercekat ludah yang sudah tak sanggup mengalir dari kerongkongan ke dalam perutnya. Matanya berkunang-kunang dan mengatup pelan-palan. Lalu dia mati. Duit-duit berhamburan dan

ruhnya tidak juga bangun menyeret jasadnya.

***

Dari kejauhan, perempuan di tepi dermaga melihat dengan matanya yang keropos: tuan tanah yang pernah menolak jasadnya karena miskin. Sementara matahari meninggi, tangannya menyentuh jasadnya sendiri yang kulit-kulitnya sudah mengkerut.

Dua ekor burung gagak berputar-putar di atasnya, mencium aroma bangkai dan nasib yang hitam.

“Pagi belum genap dan mereka sudah mencari makan.”

Sebelum ditikam gagak-gagak itu, perempuan di tepi dermaga menyeret tubuhnya ke danau. Jasadnya mengambang dan ruhnya tenggelam di bawah air yang kusam.

Francisca Christy Rosana. 

Rabu, 08 Mei 2019

Bu, Aku Membesar

Bu, ayo kita menyulam baju. Bajuku sudah tak muat lagi. Badanku membesar. Kalau aku telanjang, pedagang-pedagang di pasar bakal berkerumun. Lalu aku jadi rebutan. "Ayo sini ke kios, aku punya koleksi baju-baju besar untukmu...Hahahaha..." Lalu aku terimpit gelegar tawa yang memekak di kuping, nyaring, sampai mengiris liang telingaku.
.
Bu, ayo kita ke tukang sepeda, beli baru. Badanku sudah membesar.
Tukang becak enggan datang lagi. "Ah, berat," katanya. Kalau kita tak beli sepeda, aku akan jalan kaki ke sekolah, berkilo-kilo jauhnya. Keningku basah keringat dan kakiku yang tanpa alas akan menginjak aspal yang bringas. Lalu aku bakal saban hari menangis saat sampai rumah. Tak ayal kau akan menyumpal mulutku dengan ubi yang kulitnya tak dikelupas hingga suaraku tertelan di kerongkongan.
.
Bu, ayo kita pergi. Badanku membesar. Tuan Jatilawang akan tertawa dan dia akan berkoar-koar: "Ada yang tak sedap dipandang. Ayo kita datang, dan jangan lupa bawa busur panah!"
.
Bu, ayo kita pergi. Tak bisa aku berkelit, aku membesar dan kita hidup di dunia yang penuh mata. Orang lapar karena mata, haus karena mata, kaya karena mata, miskin tersebab mata, utang disahur mata. Badanku membesar dan gampang ditangkap mata. Sebentar lagi aku mati karena mata, mata. Mata-mata Tuan Jatiwalang.
.
Bu, aku membesar dan mataku berkunang-kunang.

Selasa, 10 Juli 2018

#MemorabiliaFlores: Wae Kesambi, Memotret Labuan Bajo dari Sisi Lain




Tawaran berlayar menyambangi Pulau Padar yang eksotis di Labuan Bajo, Kepulauan Komodo, Flores, Nusa Tenggara Timur, saya tolak mentah-mentah, pada Januari 2018 lalu. Ikon tiga teluknya yang populer beredar di media sosial itu tak semerta-merta membuat saya ingin menjejakkan kaki di sana.

Ini kali ketiga saya ke Labuan Bajo. Meski belum sempat ke Pulau Padar pada kunjungan sebelumnya, saya memilih akan mengeksplorasi sisi lainnya. Seorang pemilik kapal bernama Lulang membisiki saya tentang Pasar Wae Kesambi begitu saya tiba di Pelabuhan Labuan Bajo, sore itu pada awal Januari lalu. 

Saya dan Lulang belum pernah bertemu sebelumnya. Namun singkat cerita ia menjadi kawan baik saya selama di kota ujung barat Pulau Flores itu. Seseorang di kapal feri yang saya tunggangi dari Bima menuju Labuan Bajo-lah yang mengenalkan saya pada Lulang. 

Lulang bercerita banyak tentang Bajo. Kisah yang ia tuturkan tentu belum pernah saya dengar sebelumnya. Kata Lulang kala itu, Bajo dihuni pendatang-pendatang dari Bugis, Bima, dan Jawa. Ia sendiri berasal dari Bugis. Keluarganya tinggal di Pulau Kukusan. Mereka berprofesi sebagai nelayan. Sedangkan Lulang baru-baru ini menjadi penyewa sailing boat. 

Para pendatang seperti dia, kata Lulang, tinggal di pesisir Bajo atau di pulau-pulau kecil sekitarnya. Sedangkan warga asli Manggarai Barat, Flores, banyak berdiam di kota bagian atas. 

Tiga kali ke Bajo, saya menyusuri benar jalanan kota itu. Kota Bajo kecil. Berkendara dengan motor tak sampai 1 jam saja saya sudah berhasil mengelilinginya. Kota ini terbagi atas dua wilayah. Bagian bawah dan atas. Bagian bawah, seperti cerita Lulang, memang banyak dihuni pendatang.

Saya menemukan warung lesehan Lamongan di dekat pelabuhan. Saya juga dapat mendengar orang-orang berbicara dengan beragam logat di pesisir. Lalu, hampir semua sopir ojek yang mengantarkan saya berkeliling mengaku berasal dari Bima. 

Hanya satu orang dari lima ojek yang saya tumpangi kala itu merupakan warga asli Flores. Ia pun berasal dari Ruteng, sebuah kota dataran tinggi yang berwaktu tempuh 4 jam dari Labuan Bajo. 

Saya mendengarkan bisikan Lulang tentang Pasar Wae Kesambi itu. Kata Lulang, kalau ingin mengenal kehidupan asli Labuan Bajo, saya harus menyambangi pasar itu. 

Pagi-pagi benar, pada hari ketiga, saya berkendara ke Pasar Wae Kesambi. Tak sulit menemukan pasar itu. Letaknya di jalan protokol, dekat dengan tempat wisata Gua Batu Cermin dan kantor Polres Manggarai Barat. 

Dari Kampung Ujung, tempat menginapnya para backpacker, saya menempuh waktu lebih-kurang 15 menit sampai ke pasar itu. Di sepanjang jalan, saya melihat wajah-wajah yang lain.


Berbeda dengan di kawasan pesisir, di perjalanan hingga tiba di pintu gerbang pasar, saya menemui banyak orang dengan karakter wajah khas timur. Alis-alis mereka lebih tebal daripada orang yang saya temui di pesisir. Mereka tersenyum setiap kali berpapasan mata dengan saya.

Saya pernah mendengar, Flores memiliki julukan sebagai pulau seribu senyum. Di sinilah saya menjumpainya, di Pasar Wae Kesambi. 

Kala itu saya datang pukul 06.00. Namun pasar masih cukup sepi. Hanya ada beberapa pedagang menata sayurannya. Seorang mama berusia lebih-kurang 50 tahun memberi tahu bahwa derik aktivitas jual-beli baru mulai pukul 07.30.

Mereka, kata mama itu, lebih dulu ibadah sebelum berkegiatan di pasar. Atau juga memberi makan hewan ternak. Memang, sepanjang perjalanan tadi, saya menyaksikan orang-orang berbaris rapi jalan kaki menuju gereja. Ada beberapa gereja Katolik di sisi atas Labuan Bajo. 

Menjelang pukul 07.00, pasar sudah cukup ramai. Orang-orang mulai datang. Saya berkeliling pasar yang tidak terlampau luas itu sampai tiga kali. 

Bagian paling muka ialah tempat orang-orang berjualan ikan. Para pedagang ikan biasanya berasal dari wilayah pesisir. 
Mereka kebanyakan pendatang seperti yang saya temui di sekitar pelabuhan. Ada macam-macam ikan yang mereka jual. Ada yang kering, ada juga yang basah. Harga ikan yang mereka jual rata-rata lebih mahal Rp 1.000 per kilogram daripada harga yang ditawarkan di Tempat Pelelangan Ikan Labuan Bajo, dekat pelabuhan. 

Sedangkan di bagian tengah umumnya diisi oleh pedagang-pedagang asli Manggarai Barat. Mereka menjual berbagai jenis sayuran. Sayuran itu diambil langsung dari Ruteng. 

Seorang warga asal Sumatera Utara, yang lama tinggal di Bajo bernama Papa Jo, bilang, Labuan Bajo tak terlampau subur tanahnya. Tumbuhan yang dapat dipanen di sana hanya singkong beserta daunnya dan jagung. Maka itu, untuk memenuhi asupan sayur lain, seperti bayam merah, mereka harus memasok dari Ruteng.


Bagian belakang pasar diisi oleh penjaja kudapan ringan. Beragam kue untuk sarapan, seperti bapalaya dan jintan dijual di sana. Uniknya, para pedagangnya ialah orang-orang Bugis. Saya ingat kata Lulang bahwa ragam variasi makanan di Bajo biasanya dibawa dari Bugis.

Di Pasar Wae Kesambi, terjadi interaksi menarik antara pendatang dan warga asli. Mereka berbicara dengan bahasa Manggarai Barat, tapi logatnya berbeda. Tuturan orang Flores asli terdengar lebih medok dan banyak menambahkan kata 'kah' pada akhir kalimat mereka. Intonasinya pun lebih meliuk. 

Sepanjang nongkrong di Pasar Wae Kesambi, saya menyaksikan dua wajah Labuan Bajo. Wajah bagi orang asli dan pendatang. Di sana terjadi komunikasi yang harmonis di tengah perbedaan yang cukup kental. 

Di sana pula terjadi pertukaran informasi mengenai hal-hal yang dibawa dari pesisir dan pegunungan. Pasar itulah pusat informasi teraktual bagi warga setempat yang belum mengenal sarana komunikasi modern.

Pasar Wae Kesambi adalah sisi lain yang eksotis dari Labuan Bajo, di balik Pulau Padar yang populer dan keberadaan komodo yang mendunia. Di sinilah Labuan Bajo hidup, nyata. Di sinilah potret realitas yang sebenar-benarnya.


Tulisan ini sudah ditayangkan di Tempo.co pada 10 Juli 2018. 

Senin, 20 November 2017

Merawat Riwayat Kota Bagan

(Francisca Christy Rosana)

Tongkang berdiam kukuh. Di depannya, orang-orang mengantukkan dupa sembari memohon berkat.

Gemericit walet dan suara hujan tipis-tipis dari atas langit Bagansiapiapi, Riau, menjadi lagu alam pengiring proses pengarakan replika kapal pada 10 Juni lalu. Teriakan “huata” yang muncul dari mulut empunya wajah-wajah peranakan terdengar bak paduan suara, mendorong semangat dimulainya rangkaian ritual bakar tongkang dari tempat pembuatannya di samping kelenteng.
Beberapa jam sebelumnya, para tang ki atau loya—manusia yang dipercaya punya kemampuan metafisis—beserta perwakilan setiap kelenteng menggelar penghormatan kepada Dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun di Kelenteng Ing Hok Kiong.

Menurut sejarahnya, kelenteng tersebut merupakan yang tertua di Bagan—sebutan singkat Kota Bagansiapiapi yang ditempuh sekitar delapan jam dari Pekanbaru. Di pintunya tertulis kelenteng dibangun pada Tahun Naga, yang menurut penanggalan Hijriah diperkirakan bertepatan pada era 1870-an.

Adapun bakar tongkang secara turun-temurun diyakini merupakan ritual untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya, dewa pelindung masyarakat setempat, yang jatuh pada penanggalan lunar di hari ke-16 bulan ke-5, dihitung pasca-Imlek. Secara historis pula, upacara itu merupakan sebuah penanda untuk memperingati hikayat asal muasal Kota Bagan.

Selepas menaruh hormat, tang ki dan rombongan dari beragam kelenteng menjemput si tongkang. Kapal yang sudah disolek dengan bendera warna-warni, lukisan perlambang shio manusia, dan unsur semiotis lain itu diarak menuju kelenteng. Sepanjang jalan, orang-orang bersuka menyambutnya. Jalanan kecil di Bagan, yang mirip dengan perkampungan Lijiang, sekonyong-konyong penuh sesak oleh warga yang ingin menyaksikan si lakon utama ritual tahunan itu diarak menuju persemayaman.

Di muka tongkang, bertengger kepala naga yang gagah. Keberadaannya mengisyaratkan karisma seorang dewa yang memiliki kedudukan tertinggi secara spiritual. Namun selembar kain merah menutupinya. Orang-orang yang ingin menyaksikan cuma bisa mengintip, tak dapat melihat secara gamblang. Baru pada tengah malam nanti, tepat pukul 00.00, dilaksanakan ritual untuk membuka tabir tersebut. Mereka menyebutnya sebagai peresmian. Upacara tengah malam ini dilakoni para sesepuh dan tang ki sang ahli gaib.

Esok harinya, saat matahari belum muncul, halaman kelenteng sudah riuh. Meja panjang berderet dari muka pintu sampai kira-kira 300 meter menuju jalan raya. Para perantau berdatangan dari kota-kota tetangga. Ce Ani, yang datang dari Medan dan tiba di Bagan sehari sebelumnya, turut menggelar persembahan. “Sebab, ini seperti Lebaran bagi kami jadi harus datang dan ikut ritualnya,” ucapnya. Ce Ani membawa persembahan berupa kue, buah-buahan, dan kacang-kacangan.

Di samping meja perempuan paruh baya itu, ada keluarga yang menghaturkan seekor babi mentah utuh. Secara bersamaan, asap pembakaran membubung memenuhi langit Bagan. Bau anyir darah bercampur wangi menyekat dari dupa menjadi aroma yang lekat menyapu penciuman seketika itu.
Wewangian yang beragam itu sedikit teralihkan dengan pemandangan yang asing ditemui di Indonesia, yakni orang-orang yang berbicara dengan logat Hokkian dan intonasi yang tak lazim didengar di kuping. Di hampir semua titik, masyarakat melakoni sembahyang. Muaranya di dalam kelenteng.

Sedangkan di sisi kanan, tongkang berdiam kukuh. Kepalanya sudah tak lagi tertutup kain. Di depannya, orang-orang mengantukkan dupa sembari mengucap satu-dua kalimat. Mereka memohon berkat untuk usia, rezeki, keselamatan, dan kesejahteraan. Juga meminta supaya dijauhkan dari beragam persoalan dan halangan.

Matahari meninggi. Kota Bagan berangsur terik. Lagu-lagu berbahasa Mandarin diputar keras-keras di hampir semua sudut di kota yang dulunya pernah berjuluk Ville Lumiere atau Kota Cahaya ini. Tabuhan simbal, gong, dan tambur turut menjadi-jadi. Barisan orang berseragam warna-warni seliweran menuju kelenteng. Persembahan serupa gunungan dipanggul empat hingga enam orang.

Area sekitar meja altar sesak dijejali manusia. Terlebih sewaktu para tang ki datang satu per satu dan unjuk diri dengan gerakan-gerakan supernatural. Mulutnya mengucapkan kata-kata yang tak bisa diartikan secara harfiah. Badannya bergetar hebat dan kepalanya menengok acak. Kadang-kadang mengerang lirih, membikin suasana menjadi mistis. Dalam keadaan demikian, sang dewa sedang bekerja di dalam raga tang ki.

Pemandangan ini berlangsung hingga pukul tiga sore. Setelahnya, tongkang diarak menuju arena pembakaran. Seperti karnaval, banjar paling muka diawali dengan barisan replika para dewa yang dipanggul bak gunungan persembahan. Berturut-turut setelahnya para ahli gaib dan rombongan tim dari setiap kelenteng mengiringi. Barulah tongkang mendiami bagian buntut. Keberadaannya seolah menjadi gong sebuah parade.

Lokasi pembakaran berjarak tak kurang satu kilometer dari Kelenteng Ing Hok Kiong. Arena ini berupa lapangan luas yang dulu dikabarkan menjadi lokasi pertama datangnya para leluhur di tanah itu. Sepanjang pawai, di tepi-tepi jalan, orang-orang menunggu di depan rumah. Masing-masing menggenggam dupa merah sedikitnya tiga batang. Jalur itu mendadak padat oleh manusia. Saat tongkang lewat, mereka mengelu-elukan dupa sembari mengucapkan satu-dua kalimat harapan.
Dua pilar layar kapal langsung dipasang sejurus setelah tongkang tiba di lokasi pembakaran. Para warga berkerumun mengelilingi.

Tiang inilah yang menjadi intisari ritual. Kala simbol hikayat dibakar, ke mana jatuhnya tiang, entah menuju darat atau laut, arah itulah yang selanjutnya dipercaya sebagai sumber rezeki mereka. Kalau tiang jatuh ke arah laut, berarti rezeki mereka tahun ini muasalnya dari kekayaan yang didapatkan dari lembah bahari. Namun, kalau jatuhnya ke darat, peruntungan bakal bersumber dari kekayaan yang terdapat di tanah.

Sambil menunggu api melahap tongkang, jutaan lembar kertas kim atau kim cua ditabur di sekelilingnya. Lapangan berubah menjadi lautan berwarna kuning kemerahan. Tatkala bara dinyalakan, lidah-lidah api seketika melumat seluruh bagian kapal dan kertas-kertas yang bertebaran di sekitarnya.

Warga terus berteriak “huata” dan berpawai mengelilingi bara raksasa sembari menunggu tiang roboh. Bersamaan dengan angin yang menggulung api, tiang pertama, lantas kedua, ambruk. Keduanya tunduk di haluan laut. Sorak-sorai santer terdengar. “Rezeki kita dari laut,” kata mereka hampir bersamaan.

Perjalanan Marga Ang


Selain merupakan ritual untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya, dewa pelindung, secara historis, upacara itu merupakan sebuah penanda untuk memperingati hikayat asal muasal Kota Bagan. Dulunya, menurut kisah yang berkembang, sejumlah pengembara asal Fujian, Cina, melakukan pelayaran untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Di tengah perantauan, mereka diombang-ambing gelombang hingga tak tahu arah.

Sewaktu diliputi ketakutan, para pengembara berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya hingga akhirnya muncul petunjuk berupa kunang-kunang yang mengantarkan rombongan itu sampai di bibir barat tepian Selat Malaka, yang sekarang disebut Kota Bagan. Delapan belas orang di kapal selamat. Secara kebetulan, mereka bermarga Ang. Keluarga besar Ang lantas membakar kapal yang ditunggangi dan berjanji tak bakal kembali ke kampung halamannya lantaran ingin menetap di tanah yang mereka pijak selepas lolos dari gulungan ombak. Hingga sekarang, mereka dipercaya menjadi nenek moyang warga Bagan.


Kamis, 26 Januari 2017

Aku Dipasung Jakarta

Lampu-lampu menyala bergantian, berkelip-kelip mencatuk mata.
Langit-langit penuh tawa gadungan. 
Keramahan ditakar dengan nominal. 
Di sudut sana, sumbu-sumbu keditaktoran menyala. 
Kebengisan merayu sampai hidung, merambat ke kerongkongan. 
Tangan-tangan pasak kunci menggerayangi, memerawani hak paling hakiki: buah pikiran. 
Tapi tak bisa lari. Karena doku telanjur membuat candu. 

Aku dipasung Jakarta. 

Sabtu, 03 Desember 2016

Jakarta

Yang ku suka dari Jakarta: cahaya yang memantul dari kaca gedung-gedung gergasi dan siluet yang terangkum padamu.

Minggu, 13 November 2016

Batas

Kepadamu:

batas kita menyangkut tiga perkara,

pukulan waktu,

persilangan otak,

dan cara bersolek seorang perempuan (plus warna pemerah bibirnya).

Rabu, 09 November 2016

Bau Tahi

"Dunia denganmu adalah fantasi."
Tahi. Di luar, lampu-lampu jalan nyala setelah magrib.
"Dunia tanpamu seperti ilusi."
Tahi. Di luar, trotoar lengang tanpa tenda dan bungkus mi.
Kedatangan layaknya gelombang, melanting ke sana kemari.
Sampah. Cerutu mengasak selokan.
Tahi. Bau tahi dan mimpi.