Selasa, 10 Juli 2018

#MemorabiliaFlores: Wae Kesambi, Memotret Labuan Bajo dari Sisi Lain




Tawaran berlayar menyambangi Pulau Padar yang eksotis di Labuan Bajo, Kepulauan Komodo, Flores, Nusa Tenggara Timur, saya tolak mentah-mentah, pada Januari 2018 lalu. Ikon tiga teluknya yang populer beredar di media sosial itu tak semerta-merta membuat saya ingin menjejakkan kaki di sana.

Ini kali ketiga saya ke Labuan Bajo. Meski belum sempat ke Pulau Padar pada kunjungan sebelumnya, saya memilih akan mengeksplorasi sisi lainnya. Seorang pemilik kapal bernama Lulang membisiki saya tentang Pasar Wae Kesambi begitu saya tiba di Pelabuhan Labuan Bajo, sore itu pada awal Januari lalu. 

Saya dan Lulang belum pernah bertemu sebelumnya. Namun singkat cerita ia menjadi kawan baik saya selama di kota ujung barat Pulau Flores itu. Seseorang di kapal feri yang saya tunggangi dari Bima menuju Labuan Bajo-lah yang mengenalkan saya pada Lulang. 

Lulang bercerita banyak tentang Bajo. Kisah yang ia tuturkan tentu belum pernah saya dengar sebelumnya. Kata Lulang kala itu, Bajo dihuni pendatang-pendatang dari Bugis, Bima, dan Jawa. Ia sendiri berasal dari Bugis. Keluarganya tinggal di Pulau Kukusan. Mereka berprofesi sebagai nelayan. Sedangkan Lulang baru-baru ini menjadi penyewa sailing boat. 

Para pendatang seperti dia, kata Lulang, tinggal di pesisir Bajo atau di pulau-pulau kecil sekitarnya. Sedangkan warga asli Manggarai Barat, Flores, banyak berdiam di kota bagian atas. 

Tiga kali ke Bajo, saya menyusuri benar jalanan kota itu. Kota Bajo kecil. Berkendara dengan motor tak sampai 1 jam saja saya sudah berhasil mengelilinginya. Kota ini terbagi atas dua wilayah. Bagian bawah dan atas. Bagian bawah, seperti cerita Lulang, memang banyak dihuni pendatang.

Saya menemukan warung lesehan Lamongan di dekat pelabuhan. Saya juga dapat mendengar orang-orang berbicara dengan beragam logat di pesisir. Lalu, hampir semua sopir ojek yang mengantarkan saya berkeliling mengaku berasal dari Bima. 

Hanya satu orang dari lima ojek yang saya tumpangi kala itu merupakan warga asli Flores. Ia pun berasal dari Ruteng, sebuah kota dataran tinggi yang berwaktu tempuh 4 jam dari Labuan Bajo. 

Saya mendengarkan bisikan Lulang tentang Pasar Wae Kesambi itu. Kata Lulang, kalau ingin mengenal kehidupan asli Labuan Bajo, saya harus menyambangi pasar itu. 

Pagi-pagi benar, pada hari ketiga, saya berkendara ke Pasar Wae Kesambi. Tak sulit menemukan pasar itu. Letaknya di jalan protokol, dekat dengan tempat wisata Gua Batu Cermin dan kantor Polres Manggarai Barat. 

Dari Kampung Ujung, tempat menginapnya para backpacker, saya menempuh waktu lebih-kurang 15 menit sampai ke pasar itu. Di sepanjang jalan, saya melihat wajah-wajah yang lain.


Berbeda dengan di kawasan pesisir, di perjalanan hingga tiba di pintu gerbang pasar, saya menemui banyak orang dengan karakter wajah khas timur. Alis-alis mereka lebih tebal daripada orang yang saya temui di pesisir. Mereka tersenyum setiap kali berpapasan mata dengan saya.

Saya pernah mendengar, Flores memiliki julukan sebagai pulau seribu senyum. Di sinilah saya menjumpainya, di Pasar Wae Kesambi. 

Kala itu saya datang pukul 06.00. Namun pasar masih cukup sepi. Hanya ada beberapa pedagang menata sayurannya. Seorang mama berusia lebih-kurang 50 tahun memberi tahu bahwa derik aktivitas jual-beli baru mulai pukul 07.30.

Mereka, kata mama itu, lebih dulu ibadah sebelum berkegiatan di pasar. Atau juga memberi makan hewan ternak. Memang, sepanjang perjalanan tadi, saya menyaksikan orang-orang berbaris rapi jalan kaki menuju gereja. Ada beberapa gereja Katolik di sisi atas Labuan Bajo. 

Menjelang pukul 07.00, pasar sudah cukup ramai. Orang-orang mulai datang. Saya berkeliling pasar yang tidak terlampau luas itu sampai tiga kali. 

Bagian paling muka ialah tempat orang-orang berjualan ikan. Para pedagang ikan biasanya berasal dari wilayah pesisir. 
Mereka kebanyakan pendatang seperti yang saya temui di sekitar pelabuhan. Ada macam-macam ikan yang mereka jual. Ada yang kering, ada juga yang basah. Harga ikan yang mereka jual rata-rata lebih mahal Rp 1.000 per kilogram daripada harga yang ditawarkan di Tempat Pelelangan Ikan Labuan Bajo, dekat pelabuhan. 

Sedangkan di bagian tengah umumnya diisi oleh pedagang-pedagang asli Manggarai Barat. Mereka menjual berbagai jenis sayuran. Sayuran itu diambil langsung dari Ruteng. 

Seorang warga asal Sumatera Utara, yang lama tinggal di Bajo bernama Papa Jo, bilang, Labuan Bajo tak terlampau subur tanahnya. Tumbuhan yang dapat dipanen di sana hanya singkong beserta daunnya dan jagung. Maka itu, untuk memenuhi asupan sayur lain, seperti bayam merah, mereka harus memasok dari Ruteng.


Bagian belakang pasar diisi oleh penjaja kudapan ringan. Beragam kue untuk sarapan, seperti bapalaya dan jintan dijual di sana. Uniknya, para pedagangnya ialah orang-orang Bugis. Saya ingat kata Lulang bahwa ragam variasi makanan di Bajo biasanya dibawa dari Bugis.

Di Pasar Wae Kesambi, terjadi interaksi menarik antara pendatang dan warga asli. Mereka berbicara dengan bahasa Manggarai Barat, tapi logatnya berbeda. Tuturan orang Flores asli terdengar lebih medok dan banyak menambahkan kata 'kah' pada akhir kalimat mereka. Intonasinya pun lebih meliuk. 

Sepanjang nongkrong di Pasar Wae Kesambi, saya menyaksikan dua wajah Labuan Bajo. Wajah bagi orang asli dan pendatang. Di sana terjadi komunikasi yang harmonis di tengah perbedaan yang cukup kental. 

Di sana pula terjadi pertukaran informasi mengenai hal-hal yang dibawa dari pesisir dan pegunungan. Pasar itulah pusat informasi teraktual bagi warga setempat yang belum mengenal sarana komunikasi modern.

Pasar Wae Kesambi adalah sisi lain yang eksotis dari Labuan Bajo, di balik Pulau Padar yang populer dan keberadaan komodo yang mendunia. Di sinilah Labuan Bajo hidup, nyata. Di sinilah potret realitas yang sebenar-benarnya.


Tulisan ini sudah ditayangkan di Tempo.co pada 10 Juli 2018.