Senin, 20 November 2017

Merawat Riwayat Kota Bagan

(Francisca Christy Rosana)

Tongkang berdiam kukuh. Di depannya, orang-orang mengantukkan dupa sembari memohon berkat.

Gemericit walet dan suara hujan tipis-tipis dari atas langit Bagansiapiapi, Riau, menjadi lagu alam pengiring proses pengarakan replika kapal pada 10 Juni lalu. Teriakan “huata” yang muncul dari mulut empunya wajah-wajah peranakan terdengar bak paduan suara, mendorong semangat dimulainya rangkaian ritual bakar tongkang dari tempat pembuatannya di samping kelenteng.
Beberapa jam sebelumnya, para tang ki atau loya—manusia yang dipercaya punya kemampuan metafisis—beserta perwakilan setiap kelenteng menggelar penghormatan kepada Dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun di Kelenteng Ing Hok Kiong.

Menurut sejarahnya, kelenteng tersebut merupakan yang tertua di Bagan—sebutan singkat Kota Bagansiapiapi yang ditempuh sekitar delapan jam dari Pekanbaru. Di pintunya tertulis kelenteng dibangun pada Tahun Naga, yang menurut penanggalan Hijriah diperkirakan bertepatan pada era 1870-an.

Adapun bakar tongkang secara turun-temurun diyakini merupakan ritual untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya, dewa pelindung masyarakat setempat, yang jatuh pada penanggalan lunar di hari ke-16 bulan ke-5, dihitung pasca-Imlek. Secara historis pula, upacara itu merupakan sebuah penanda untuk memperingati hikayat asal muasal Kota Bagan.

Selepas menaruh hormat, tang ki dan rombongan dari beragam kelenteng menjemput si tongkang. Kapal yang sudah disolek dengan bendera warna-warni, lukisan perlambang shio manusia, dan unsur semiotis lain itu diarak menuju kelenteng. Sepanjang jalan, orang-orang bersuka menyambutnya. Jalanan kecil di Bagan, yang mirip dengan perkampungan Lijiang, sekonyong-konyong penuh sesak oleh warga yang ingin menyaksikan si lakon utama ritual tahunan itu diarak menuju persemayaman.

Di muka tongkang, bertengger kepala naga yang gagah. Keberadaannya mengisyaratkan karisma seorang dewa yang memiliki kedudukan tertinggi secara spiritual. Namun selembar kain merah menutupinya. Orang-orang yang ingin menyaksikan cuma bisa mengintip, tak dapat melihat secara gamblang. Baru pada tengah malam nanti, tepat pukul 00.00, dilaksanakan ritual untuk membuka tabir tersebut. Mereka menyebutnya sebagai peresmian. Upacara tengah malam ini dilakoni para sesepuh dan tang ki sang ahli gaib.

Esok harinya, saat matahari belum muncul, halaman kelenteng sudah riuh. Meja panjang berderet dari muka pintu sampai kira-kira 300 meter menuju jalan raya. Para perantau berdatangan dari kota-kota tetangga. Ce Ani, yang datang dari Medan dan tiba di Bagan sehari sebelumnya, turut menggelar persembahan. “Sebab, ini seperti Lebaran bagi kami jadi harus datang dan ikut ritualnya,” ucapnya. Ce Ani membawa persembahan berupa kue, buah-buahan, dan kacang-kacangan.

Di samping meja perempuan paruh baya itu, ada keluarga yang menghaturkan seekor babi mentah utuh. Secara bersamaan, asap pembakaran membubung memenuhi langit Bagan. Bau anyir darah bercampur wangi menyekat dari dupa menjadi aroma yang lekat menyapu penciuman seketika itu.
Wewangian yang beragam itu sedikit teralihkan dengan pemandangan yang asing ditemui di Indonesia, yakni orang-orang yang berbicara dengan logat Hokkian dan intonasi yang tak lazim didengar di kuping. Di hampir semua titik, masyarakat melakoni sembahyang. Muaranya di dalam kelenteng.

Sedangkan di sisi kanan, tongkang berdiam kukuh. Kepalanya sudah tak lagi tertutup kain. Di depannya, orang-orang mengantukkan dupa sembari mengucap satu-dua kalimat. Mereka memohon berkat untuk usia, rezeki, keselamatan, dan kesejahteraan. Juga meminta supaya dijauhkan dari beragam persoalan dan halangan.

Matahari meninggi. Kota Bagan berangsur terik. Lagu-lagu berbahasa Mandarin diputar keras-keras di hampir semua sudut di kota yang dulunya pernah berjuluk Ville Lumiere atau Kota Cahaya ini. Tabuhan simbal, gong, dan tambur turut menjadi-jadi. Barisan orang berseragam warna-warni seliweran menuju kelenteng. Persembahan serupa gunungan dipanggul empat hingga enam orang.

Area sekitar meja altar sesak dijejali manusia. Terlebih sewaktu para tang ki datang satu per satu dan unjuk diri dengan gerakan-gerakan supernatural. Mulutnya mengucapkan kata-kata yang tak bisa diartikan secara harfiah. Badannya bergetar hebat dan kepalanya menengok acak. Kadang-kadang mengerang lirih, membikin suasana menjadi mistis. Dalam keadaan demikian, sang dewa sedang bekerja di dalam raga tang ki.

Pemandangan ini berlangsung hingga pukul tiga sore. Setelahnya, tongkang diarak menuju arena pembakaran. Seperti karnaval, banjar paling muka diawali dengan barisan replika para dewa yang dipanggul bak gunungan persembahan. Berturut-turut setelahnya para ahli gaib dan rombongan tim dari setiap kelenteng mengiringi. Barulah tongkang mendiami bagian buntut. Keberadaannya seolah menjadi gong sebuah parade.

Lokasi pembakaran berjarak tak kurang satu kilometer dari Kelenteng Ing Hok Kiong. Arena ini berupa lapangan luas yang dulu dikabarkan menjadi lokasi pertama datangnya para leluhur di tanah itu. Sepanjang pawai, di tepi-tepi jalan, orang-orang menunggu di depan rumah. Masing-masing menggenggam dupa merah sedikitnya tiga batang. Jalur itu mendadak padat oleh manusia. Saat tongkang lewat, mereka mengelu-elukan dupa sembari mengucapkan satu-dua kalimat harapan.
Dua pilar layar kapal langsung dipasang sejurus setelah tongkang tiba di lokasi pembakaran. Para warga berkerumun mengelilingi.

Tiang inilah yang menjadi intisari ritual. Kala simbol hikayat dibakar, ke mana jatuhnya tiang, entah menuju darat atau laut, arah itulah yang selanjutnya dipercaya sebagai sumber rezeki mereka. Kalau tiang jatuh ke arah laut, berarti rezeki mereka tahun ini muasalnya dari kekayaan yang didapatkan dari lembah bahari. Namun, kalau jatuhnya ke darat, peruntungan bakal bersumber dari kekayaan yang terdapat di tanah.

Sambil menunggu api melahap tongkang, jutaan lembar kertas kim atau kim cua ditabur di sekelilingnya. Lapangan berubah menjadi lautan berwarna kuning kemerahan. Tatkala bara dinyalakan, lidah-lidah api seketika melumat seluruh bagian kapal dan kertas-kertas yang bertebaran di sekitarnya.

Warga terus berteriak “huata” dan berpawai mengelilingi bara raksasa sembari menunggu tiang roboh. Bersamaan dengan angin yang menggulung api, tiang pertama, lantas kedua, ambruk. Keduanya tunduk di haluan laut. Sorak-sorai santer terdengar. “Rezeki kita dari laut,” kata mereka hampir bersamaan.

Perjalanan Marga Ang


Selain merupakan ritual untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya, dewa pelindung, secara historis, upacara itu merupakan sebuah penanda untuk memperingati hikayat asal muasal Kota Bagan. Dulunya, menurut kisah yang berkembang, sejumlah pengembara asal Fujian, Cina, melakukan pelayaran untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Di tengah perantauan, mereka diombang-ambing gelombang hingga tak tahu arah.

Sewaktu diliputi ketakutan, para pengembara berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya hingga akhirnya muncul petunjuk berupa kunang-kunang yang mengantarkan rombongan itu sampai di bibir barat tepian Selat Malaka, yang sekarang disebut Kota Bagan. Delapan belas orang di kapal selamat. Secara kebetulan, mereka bermarga Ang. Keluarga besar Ang lantas membakar kapal yang ditunggangi dan berjanji tak bakal kembali ke kampung halamannya lantaran ingin menetap di tanah yang mereka pijak selepas lolos dari gulungan ombak. Hingga sekarang, mereka dipercaya menjadi nenek moyang warga Bagan.


Kamis, 26 Januari 2017

Aku Dipasung Jakarta

Lampu-lampu menyala bergantian, berkelip-kelip mencatuk mata.
Langit-langit penuh tawa gadungan. 
Keramahan ditakar dengan nominal. 
Di sudut sana, sumbu-sumbu keditaktoran menyala. 
Kebengisan merayu sampai hidung, merambat ke kerongkongan. 
Tangan-tangan pasak kunci menggerayangi, memerawani hak paling hakiki: buah pikiran. 
Tapi tak bisa lari. Karena doku telanjur membuat candu. 

Aku dipasung Jakarta.